Pemerintah berencana menerapkan kembali bea keluar untuk batu bara setelah hampir dua dekade tak berlaku. Kebijakan ini digadang sebagai cara menjaga pasokan energi dalam negeri sekaligus menambah penerimaan negara.
Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea Cukai, Nirwala Dwi Heryanto, menegaskan tujuan utama langkah tersebut adalah memastikan kebutuhan domestik tetap terpenuhi.
“Tujuan utamanya untuk menjamin ketersediaan barang tersebut (batu bara) di dalam negeri,” kata Nirwala dalam Media Briefing di Kantor Pusat Bea Cukai, dikutip pada Jumat (5/9).
Nirwala menjelaskan mekanisme bea keluar untuk batu bara mirip dengan yang diterapkan pada ekspor minyak sawit mentah atau CPO. Saat harga komoditas melambung tinggi, instrumen ini bisa menjadi pengendali agar tidak semua hasil produksi diekspor.
“Jangan sampai kalau CPO di luar negeri harganya bagus, terus diekspor semua begitu, kuncinya di situ,” ujar Nirwala.
Isu bea keluar batu bara pertama kali mengemuka dalam pembahasan Panitia Kerja (Panja) Penerimaan di Komisi XI DPR pada Juli 2025 lalu. Kebijakan ini juga tercantum dalam Buku II Nota Keuangan beserta RAPBN 2026, yang menyebutkan bahwa perluasan basis penerimaan bea keluar akan menyasar emas dan batu bara, dengan pengaturan teknis mengacu pada Kementerian ESDM.
Untuk emas, pemerintah telah lebih dulu mengenakan bea keluar pada produk dore bullion melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 38 Tahun 2024. Namun, emas batangan dan perhiasan masih belum termasuk dalam cakupannya.
Sementara batu bara terakhir kali dikenai bea keluar pada 2006. Sejak itu, kontribusinya bagi negara hanya berasal dari royalti yang masuk kategori Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Penerapan bea keluar ini juga sejalan dengan target penerimaan negara yang ditetapkan tahun depan senilai Rp 3.147,7 triliun. Dari jumlah tersebut, porsi terbesar berasal dari penerimaan pajak mencapai Rp 2.357,7 triliun atau naik 13,5 persen dibandingkan tahun lalu. Selain itu, kepabeanan dan cukai ditargetkan menyumbang Rp 334,3 triliun, sementara PNBP dipatok senilai Rp 455 triliun.