Setiap tahun, ribuan mahasiswa dengan bangga menyandang gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.). Mereka adalah harapan baru, calon-calon pencerah bangsa yang siap mengabdikan diri untuk menunaikan UUD 1945 "mencerdaskan kehidupan bangsa". Namun, ironisnya, harapan itu seringkali terbentur pada realitas sekarang, yakni lapangan kerja yang semakin sempit. Fenomena ini tentu memunculkan sebuah pertanyaan:
Secara konsisten, lulusan dari jurusan pendidikan termasuk salah satu penyumbang angka pengangguran terdidik yang signifikan di Indonesia. Jumlah lulusan S.Pd. setiap tahunnya jauh melampaui formasi guru yang tersedia, baik di sekolah negeri maupun swasta. Anehnya, di tengah surplus ini, minat untuk masuk ke program studi kependidikan tidak pernah surut. Dari tahun ke tahun, fakultas pendidikan selalu menjadi salah satu primadona dengan jumlah pendaftar yang membeludak.
Apa yang mendorong kejadian seperti ini? Salah satunya mungkin citra "pekerjaan aman" yang melekat pada profesi guru, terutama dengan adanya skema Aparatur Sipil Negara (ASN). Namun, mari kita perhatikan lagi, seberapa sejahtera guru di negeri ini?
Jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia atau Singapura, gaji guru di Indonesia, terutama guru honorer, tertinggal jauh. Kita menuntut mereka menjadi pahlawan tanpa tanda jasa, mendidik generasi penerus dengan profesionalisme tinggi, namun seringkali mengabaikan kesejahteraan hidupnya. Sebuah tuntutan pengabdian yang terasa timpang.
Kebijakan Setengah Hati & Perebutan Lahan
Masalah ini semakin pelik dengan kebijakan yang seolah membuka pintu bagi "pemain baru" untuk merebut jatah yang sudah sempit. Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) Prajabatan yang kini membuka keran lebar bagi lulusan non-kependidikan adalah salah satu contohnya. Niatnya mungkin baik, yaitu untuk menjaring talenta terbaik dari berbagai disiplin ilmu. Namun, bagi para sarjana pendidikan yang telah mengabdikan empat tahun studinya untuk mendalami ilmu pedagogi dan didaktik, kebijakan ini terasa seperti sebuah pengkhianatan. Mereka yang "asli" justru harus bersaing ketat dengan mereka yang baru "belajar" menjadi guru dalam waktu singkat.
Kemudian, ada sistem Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Sistem ini digadang-gadang sebagai solusi untuk mengangkat para guru honorer. Kenyataannya, PPPK seringkali menjadi sumber keresahan baru. Statusnya yang "menggantung" bukan PNS, dengan kontrak yang harus diperbarui menciptakan ketidakpastian karier. Padahal, tugas dan tanggung jawab yang diemban sama beratnya, bahkan sering kali lebih berat karena harus menangani berbagai administrasi yang memusingkan di luar jam mengajar.
Untuk profesi sepenting guru dan dosen, yang membutuhkan fokus dan ketenangan jangka panjang, sistem kontrak seperti ini terasa tidak relevan. Seharusnya, negara berinvestasi penuh dengan menjadikan mereka seorang PNS, sebuah bentuk pengakuan dan jaminan atas pengabdian mereka.
Beban mengajar yang kian berat, tuntutan kurikulum yang terus berubah, dan setumpuk tugas administratif membuat guru seringkali kehabisan energi. Di tengah semua itu, masyarakat dan birokrasi masih sering mendengungkan narasi usang: "menjadi guru itu harus ikhlas". Keikhlasan memang penting, tetapi tidak bisa menjadi justifikasi untuk mengabaikan hak-hak dan kesejahteraan mereka. Ikhlas tidak akan bisa membayar cicilan, membeli buku, menyekolahkan anak, dan menghidupi keluarga.
Melihat kompleksitas masalah ini, lulusan yang membeludak, kesejahteraan yang terabaikan, dan kebijakan yang tumpang tindih, maka gagasan untuk menutup sementara fakultas pendidikan (moratorium) bukanlah sebuah wacana tanpa dasar. Moratorium bisa menjadi jeda strategis bagi pemerintah dan perguruan tinggi untuk melakukan evaluasi total.
Pertama, memetakan kembali kebutuhan riil guru di seluruh penjuru negeri secara akurat. Gagasan untuk memetakan kembali kebutuhan guru secara akurat memang terdengar seperti hal yang biasa dalam birokrasi, tetapi inilah akar masalah yang selama ini diabaikan. Data kebutuhan guru sering kali kabur, tidak terintegrasi, dan lebih menyerupai daftar keinginan ketimbang peta strategis.
Ketidaksinkronan antara data Kementerian Pendidikan, Kementerian Agama, dan Pemerintah Daerah membuat distribusi guru tidak pernah benar-benar seimbang. Akibatnya, lahirlah ironi: sekolah di kota besar bisa kelebihan guru sosiologi, sementara puluhan sekolah di daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal) justru kekurangan guru kelas SD yang mampu mengajar semua mata pelajaran dasar.
Moratorium atau jeda semen...