Liputan6.com, Jakarta Bisa jadi, Universal Language adalah film ultra-low budget. Percayalah, bujet bukan indikator tunggal yang menentukan kualitas hasil akhir dan nilai produksi sebuah film. Paling tidak, inilah yang kami rasakan setelah menonton.
Di menit awal, kita akan bertanya-tanya mengapa judulnya Universal Language. Setelah menonton hingga menit akhir, barulah kita paham mengapa kita perlu bersiap baik dan tulus. Itulah bahasa paling umum yang mudah dipahami manusia manapun.
Aktor Matthew Rankin merangkap jabatan sebagai pemain, produser, sutradara, bahkan turut menulis naskah. Universal Language adalah fantasi “liar” dengan latar realitas alternatif di mana bahasa Persia dominan di Kanada, berdampingan dengan bahasa Prancis.
Jadi, jangan kaget jika sepanjang film, kita tak familier dengan kata-kata yang digunakan para tokoh. Kadang, bukan itu poin utama film ini. Inilah review film Universal Language, yang dibintangi Rojina Esmaeili dan Saba Vahedyousefi
Setelah tertunda hingga tiga kali, film terakhir James Bond 'No Time To Die' dipastikan akan rilis pada bulan Oktober mendatang. Film yang dibintangi oleh Daniel Craig ini akan menjadi penutup serial James Bond.
Tentang Negin dan Nazgol
Dalam dunia Universal Language, Negin (Rojina Esmaeili) dan Nazgol (Saba Vahedyousefi) awalnya tidak berhubungan. Negin adalah bocah perempuan dengan cita-cita jadi diplomat. Suatu hari, Negin dan teman sekelasnya dihukum masuk ke lemari dan berdiri di sana.
Hari itu, terjadi insiden menyesakkan dada. Omid (Sobhan Javadi) tak bisa melihat tulisan di papan tulis gara-gara kacamatanya hilang. Kacamata itu nyangkut di kaki ayam kalkun yang kabur. Kini, Negin dan Nazgol berupaya membantu Omid beroleh kacamata baru.
Caranya? Dengan mencongkel uang kertas yang ada di dalam sebongkah es. Dalam upaya mencari alat congkel, mereka berpapasan dengan Massoud (Pirouz Nemati). Massoud menyarankan Negin dan Nazgol pinjam kapak. Massoud janji menjaga lokasi uang berada.
Setelah setengah mati mencari kapak, Negin syok mendapati es dan uang kertas itu telah raib. Di sudut kota lain, ada Matthew (Rankin), yang memilih berhenti dari pekerjaannya dan mudik ke Winnipeg untuk mengunjungi ibunda.
Keping-Keping Puzzle
Para paruh awal, para tokoh dalam Universal Language seperti keping-keping puzzle yang tercerai berai. Tak punya koneksi selain kesamaan bahasa dan budaya. Hidup mereka punya cerita dan masalah sendiri yang mesti diperjuangkan.
Negin dan Nazgol dengan niat baik membantu teman yang kehilangan kacamata. Massoud jungkir balik jadi pemandu wisata sementara para turis yang dipandu ngomel melulu. Ada lagi Matthew luntang-lantung melacak keberadaan ibunda.
Kebaikan 2 Bocah Perempuan
Di babak awal, kita hanya melihat kebaikan dalam diri dua bocah perempuan hingga nyaris lupa bahwa tiap manusia pasti punya sisi baik. Menit demi menit digulir, kita mulai melihat sisi terang dalam diri tiap-tiap karaker bahkan yang lagi kesepian sekalipun.
Universal Language menjadi menarik berkat selera humor lokal dengan citarasa global. Misalnya, momen mengheningkan cipta dengan durasi bukan satu, dua, tiga menit melainkan setengah jam. Ada iklan TV jadul hingga celetukan tokoh yang bikin ngakak.
Gambar-gambar Berbenturan
Kadang terasa awkward. Kadang sunyi bahkan gersang karena warna-warna yang digunakan dalam banyak adegan cenderung hangat kalau tak mau dibilang panas. Padahal, latar film ini musim dingin hingga jalanan tertutup salju.
Gambar-gambarnya kerap berbenturan hingga memantik ironi. Universal Language kadang membuat penonton jadi outsider. Satu-satunya yang mengikat Universal Language dengan audiens, kebaikan hati para tokoh. Hati yang baik adalah penghubung.
Performa Saba Vahedyousefi dan Rojina Esmaeili Keren!
Babak akhir film ini upaya Matthew Rankin menyatukan para tokoh yang s...