Ketika selesai makan, kita seringkali merasakan perasaan kenyang dan tidak ingin memakan sesuatu yang lain. Namun, tahukah Anda apa itu kenyang? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kenyang adalah perasaan puas atau cukup dan perut terasa penuh. Namun, pernahkah Anda bertanya-tanya mengapa kita bisa merasa kenyang?
Ternyata untuk merasakan rasa kenyang, tubuh harus melewati serangkaian proses yang sistematis dalam tubuh. Berbagai organ saling memengaruhi satu sama lain hingga akhirnya kita dapat merasa cukup. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan kita merasa kenyang antara lain, seperti faktor kepala, lambung dan usus, hati, dan insulin. Lalu bagaimana faktor-faktor tersebut saling berkoordinasi?
Faktor pertama adalah faktor kepala, dalam hal ini faktor kepala mencakup indra penciuman dan perasa. Selama ini mungkin kita menganggap bahwa aroma atau rasa makanan yang baik dapat meningkatkan nafsu makan kita. Namun ternyata, hal tersebut juga dapat berlaku sebaliknya.
Pertama, berdasarkan indra penciuman yang memengaruhi rasa kenyang. Berdasarkan penelitian Yeomans (2006), aroma bisa menurunkan selera makan apabila seseorang telah memiliki pengalaman tentang makanan tersebut sebelumnya. Misalnya ketika seseorang telah mengonsumsi sesuatu hingga merasa kenyang, maka kemudian aroma dari makanan tersebut akan menjadi tidak menggugah selera.
Meskipun pada awalnya aroma tersebut merupakan aroma yang disukai. Fenomena tersebut dapat kita sebut sebagai sensory‑specific satiety, yaitu ketika seseorang telah puas akan makanan tersebut maka makanan itu akan menjadi tidak menarik dibanding makanan lain. Penurunan persepsi dari aroma makanan tersebut akhirnya dapat menurunkan keinginan untuk makan dan membuat kita merasa seakan-akan telah kenyang.
Kedua adalah indra perasa, rasa dan tekstur suatu makanan ternyata juga dapat memengaruhi rasa kenyang di dalam diri kita. Ketika memakan sesuatu, rangsangan rasa yang kita terima memberi sinyal sensorik awal kepada otak bahwa makanan sedang dikonsumsi, sehingga memicu proses fisiologis yang terkait dengan penghentian makan dan rasa kenyang.
Berdasarkan penelitian oleh Li, T., Zhao, M., Raza, A., Guo, J., He, T., Zou, T., & Song, H. (2020), persepsi rasa seperti rasa manis, asin, dan gurih dapat membantu tubuh untuk mendeteksi kandungan nutrisi yang ada di dalam makanan yang sedang dikonsumsi. Semakin lama seseorang merasakan rasa makanan yang sedang dikonsumsi, maka akan meningkatkan sinyal perasaan cukup atau kenyang.
Kemudian selain rasa, tekstur juga berperan dalam menimbulkan rasa kenyang, di mana makanan dengan tekstur padat biasanya akan mempercepat rasa kenyang dibandingkan yang bertekstur cair. Dengan demikian, kombinasi atau percampuran antara rasa dan tekstur dapat membuat kita untuk berhenti makan dan merasa cukup.
Faktor selanjutnya adalah dari lambung dan usus yang saling berpengaruh atau memengaruhi terhadap rasa kenyang. Ketika makan, lambung akan menambah volume sesuai makanan yang dikonsumsi atau yang dapat kita sebut sebagai gastric accommodation.
Dinding lambung yang merenggang atau bertambah volumenya tersebut akhirnya menyebabkan terkirimnya sinyal ke otak yang menandakan bahwa lambung telah terisi (Tack, J. et al., 2021). Sinyal tersebut akhirnya menimbulkan perasaan kenyang sementara atau bisa disebut sebagai satiation (kenyang saat makan).
Setelah melalui lambung, makanan akan menuju ke usus. Di dalam usus, akan terjadi proses kimiawi di mana usus akan merespons adanya nutrisi dengan melepaskan hormon kenyang setelah makan (satiety). Hormon satiety tersebut antara lain Glucagon‑like peptide-1 (GLP-1) dan Cholecystokinin (CCK) (Tack, J. et al., 2021).
Hormon tersebut akan memperkuat rasa kenyang dan mempertahankannya dalam beberapa waktu ke depan. Dengan demikian, usus membantu lambung dalam mempertahankan rasa kenyang sehingga rasa kenyang tidak hanya akan dirasakan pada saat makan saja.
Faktor yang ketiga adalah hati, ketika makanan yang mengandung lemak dan karbohidrat masuk ke tubuh, nutrisi tersebut akan diproses di hati. Kemudian, saat hati telah menerima banyak energi, aktivitas enzim tertentu seperti enzim pembentuk glukosa di dalam hati (glukoneogenesis) akan meningkat (Fam et al., 2012).
Peningkatan tersebut kemudian menyebabkan terjadinya suatu proses pemecahan lema...

1 day ago
3





















:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5395740/original/043806200_1761717150-Real_Madrid_s_Vinicius_Junior.jpg)

:strip_icc():format(jpeg):watermark(kly-media-production/assets/images/watermarks/liputan6/watermark-color-landscape-new.png,1100,20,0)/kly-media-production/medias/5394851/original/044174600_1761643032-WhatsApp_Image_2025-10-28_at_14.54.34.jpeg)







:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4980759/original/086822200_1729941100-Screenshot_2024-10-25_110200.jpg)

:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4927780/original/031179300_1724641094-AP24238628150205.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5309385/original/047540200_1754624961-slaapwijsheid-nl-mHWmTL_EtLQ-unsplash.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5397617/original/081583900_1761812395-SADARI.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5332433/original/065200900_1756480162-WhatsApp_Image_2025-08-29_at_20.33.54.jpeg)

:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5398142/original/075984800_1761862383-000_82KJ663.jpg)