
Film dokumenter Bisikan Terumbu karya sutradara Arfan Sabran tayang perdana dalam ajang ARTJOG 2025, Jumat (4/7). Film ini menyorot perjalanan seniman kontemporer Teguh Ostenrik dalam menggarap proyek seni instalasi bawah laut bertajuk ARTificial Reef sebagai upaya pelestarian ekosistem terumbu karang.
Teguh Ostenrik dikenal sebagai seniman yang memadukan dua hal yang ia cintai: seni dan ekologi. Mantan mahasiswa kedokteran ini berkomitmen untuk mengembalikan karyanya kepada alam yang telah menginspirasi hidup dan seninya.
Gagasan ARTificial Reef muncul setelah Teguh menyaksikan kerusakan terumbu karang dalam penyelaman perdananya di Lombok pada 2014. Pengalaman tersebut mendorongnya untuk menciptakan karya seni yang sekaligus berfungsi sebagai rumah bagi pertumbuhan terumbu karang.
“Kita bergantung sekali pada Bumi. Kita, manusia, tidak bersimbiosis dengan Bumi, tapi justru menghabis-habiskan sumber dayanya. Karena itu, saya sebagai seniman tergerak untuk berbuat sesuatu,” ujar Teguh dalam sesi diskusi usai pemutaran film di ARTJOG yang dihadiri sekitar 200 orang pada pekan kemarin.

Diskusi tersebut juga menghadirkan Arfan Sabran, Mira Tedja dari Yayasan Terumbu Rupa, serta dimoderatori oleh kurator Sudjud Dartanto.
Instalasi pertama Teguh berjudul Domus Sepiae ditenggelamkan di perairan Lombok pada 2014. Instalasi itu dibuat dari besi bekas yang telah diolah agar tidak mencemari lingkungan laut. Hingga kini, sudah ada 12 instalasi seni bawah laut yang ditempatkan di delapan lokasi berbeda di Indonesia, termasuk Domus Frosiquilo yang sempat dipamerkan di ARTJOG 2019 sebelum akhirnya ditenggelamkan di lepas pantai Jikomalamo, Ternate.
Film Bisikan Terumbu berdurasi 25 menit menampilkan dokumentasi visual bawah laut yang tajam dan mendalam, disertai narasi puitis dari Teguh mengenai makna seni yang seharusnya “memberi, bukan mengambil.”

Sutradara Arfan Sabran mengakui proses produksi film ini penuh tantangan. Dengan latar belakang ilmu Biologi, ia mengaku harus mencari sudut pandang yang tepat untuk mengapresiasi karya bawah laut Teguh.
“Selama ini, saya lebih banyak melihat biota laut saja. Jadi, ketika diajak Pak Teguh untuk menikmati karyanya di bawah laut, itu menjadi tantangan tersendiri. Saya harus mengambilnya dari sudut mana? Saya bisa menikmatinya dari mana?” ujar Arfan.
Mira Tedja, Chief Strategy Officer (CSO) Yayasan Terumbu Rupa sekaligus produser eksekutif film ini, menjelaskan bahwa setiap instalasi seni bawah laut yang dikerjakan Teguh tetap mengutamakan aspek estetika, bahkan sebelum terumbu karang tumbuh di atasnya. Hal ini penting terutama untuk menarik minat para penyelam dan pegiat snorkeling.
“Tujuannya untuk menambah titik-titik snorkeling yang baru, untuk mengurangi beban titik-titik snorkeling yang merupakan tempat tumbuh alami terumbu karang,” jelas Mira.

Yayasan Terumbu Rupa sendiri didirikan oleh Teguh dan Mira sebagai wadah berkelanjutan untuk proyek ARTificial Reef. Ide pendirian yayasan muncul ketika seorang rekan bertanya soal kelanjutan proyek setelah instalasi ditenggelamkan.
“Akhirnya, kami buat Yayasan Terumbu Rupa. Misinya adalah menggunakan instalasi seni sebagai media untuk karya bertumbuh,” kata Mira.
Sebelum instalasi ditenggelamkan, tim Yayasan Terumbu Rupa selalu melakukan riset mendalam terkait kearifan lokal di lokasi yang dipilih. Menurut Mira, pelibatan masyarakat sangat penting agar mereka bisa merasakan langsung manfaat ekologis dan sosial dari proyek ini.
Selain berfokus pada laut, yayasan ini juga melakukan edukasi lingkungan kepada anak-anak di daratan sebagai bagian dari regenerasi kesadaran ekologis.
“Saya ingin memukul gong di dalam air yang gelombangnya akan sampai ke generasi di masa depan,” ujar Teguh.
Sementara itu, Intan Wibisono, Founder dan CEO Artopologi yang juga menjadi produser film ini, mengungkapkan bahwa Bisikan Terumbu sedang dalam proses seleksi festival film.
“Saat ini sedang proses submisi di festival film, akan ada roadshow juga. Kemungkinan, akhir tahun ini filmnya akan diputar secara online lewat kanal YouTube Artopologi,” ungkap Intan.
Reporter: Nuha Khairunnisa