‘MOTHER of two, here! Tired of raising kids and cleaning after corrupt officials!’ demikian tertulis di salah satu spanduk dalam aksi unjuk rasa Perempuan Melawan Kekerasan Negara, yang berlangsung Rabu (3/9) di depan gerbang utama Komplek Gedung MPR/DPR RI, Senayan, Jakarta.
“Ini anak saya yang nulisin spanduknya,” kata Debora, yang mengangkat spanduk tersebut. Perempuan berusia 35 tahun tersebut mengaku baru kali pertama ikut demonstrasi.
Sang anak sulung yang berusia 7 tahun, bisa membantunya menulis di dua spanduk. ‘If i can handle tantrum of these two rascals, i surely can handle tyrants!!’ bunyi spanduk ke-2 yang kemudian digunakan oleh peserta aksi lainnya.
Sesungguhnya, Debora mengaku agak takut. Namun, ditemani oleh adik laki-lakinya, akhirnya ia memberanikan diri untuk ikut aksi yang digelar oleh Aliansi Perempuan Indonesia itu.
“Karena saya lebih takut nanti masa depan anak saya nanti seperti apa,” kata ibu yang juga mempunyai anak berusia 3 tahun itu. Ia mengaku resah dengan kondisi negara dan berharap ada perubahan demi masa depan anak-anaknya. Untuk itu pula, ia sengaja mengambil cuti untuk ikut aksi.
Aksi yang awalnya diikuti sekitar 300 orang, yang kemudian terus bertambah, itu memiliki 6 tuntutan, selain juga menyuarakan 17+8 tuntutan rakyat yang selama beberapa hari ini telah beredar, mulai dari investigasi tuntas kasus Affan Kurniawan hingga evaluasi UU Ciptakerja.
Bagi Debora ada 2 tuntutan yang ia harapkan harus segera dilakukan pemerintah. “Pertama Presiden harus minta maaf atas kondisi yang terjadi, lalu segera juga assess kembali tunjangan DPR,” katanya.
Komunitas Perempuan Bergabung
Aliansi Perempuan Indonesia adalah ruang konsolidasi politik gabungan sejumlah komunitas perempuan, seperti Perempuan Mahardika, Solidaritas Perempuan, Kaliana Mitra, Emancipate Indonesia, Aliansi Ibu-Ibu Indonesia, hingga Jaringan Advokasi Nasional Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT). Aksi bertajuk Perempuan Melawan Kekerasan Negara ini sedianya dijadwalkan Senin (1/9), namun diundur demi situasi lebih kondusif.
Busana pink yang digunakan terinspirasi dari jilbab pink yang dikenakan Ibu Ana yang menghalau aparat di depan Gedung DPR saat aksi 28 Agustus lalu. Warna hitam perlambang duka atas demokrasi Indonesia. Sementara, sapu lidi perlambang usaha membersihkan negara. Di mobil komando, orasi setiap orator juga dididampingi dengan penutur bahasa isyarat. (M-1)