Jakarta (ANTARA) - Fenomena pinjaman online (pinjol) di Indonesia belakangan semakin marak, terutama di wilayah Jawa yang menjadi pusat populasi dan ekonomi. Data terbaru Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat bahwa per Juni 2025, outstanding pembiayaan industri ini mencapai Rp83,52 triliun, dengan pertumbuhan tahunan yang signifikan sebesar 25,06 persen.
Di balik pertumbuhan angka itu, tingkat wanprestasi 90 hari (TWP90) per Juni 2025 berada di level 2,85 persen. Meskipun angka ini menunjukkan perbaikan dari bulan-bulan sebelumnya dan masih dalam batas aman regulator, besarnya nominal utang yang beredar tetap menjadi sinyal adanya risiko finansial yang luas di masyarakat.
Kondisi ini menjadi alarm sosial yang lebih mengkhawatirkan ketika dikaitkan dengan data kemiskinan. Menurut Bank Dunia, dengan ambang batas garis kemiskinan pada level Rp1.512.000 per orang per bulan, sekitar 60 persen penduduk Indonesia dikategorikan miskin atau rentan.
Artinya, mayoritas masyarakat hidup dengan keuangan rapuh: sedikit guncangan ekonomi bisa segera membuat mereka mencari pinjaman darurat.
Pinjol, dengan kemudahannya, menjadi jalan pintas yang dipilih. Namun di balik akses instan itu, jeratan bunga harian dan praktik gali lubang tutup lubang menjadikan masyarakat semakin tertekan.
Baca juga: Larang warga ikut "Gagal Bayar Pinjol", OJK: Nanti susah cicil rumah
Fenomena memutar utang dari satu aplikasi ke aplikasi lain ini bahkan diakui sebagai salah satu penyebab utama gagal bayar, yang mendorong OJK untuk memperketat aturan dengan membatasi satu debitur hanya boleh meminjam dari maksimal tiga platform pinjol. Maka tidak mengherankan jika muncul “gerakan gagal bayar” sebagai wujud frustasi kolektif.
Gerakan ini pada satu sisi dapat dipahami sebagai reaksi psikologis, akan tetapi gagal bayar massal tidak menyelesaikan akar persoalan. Alih-alih bebas, debitur justru menghadapi risiko terdaftar buruk dalam sistem keuangan hingga kehilangan kesempatan memperoleh kredit produktif di masa depan.
Oleh karena itu, solusi yang dibutuhkan bukan sekadar imbauan dari regulator, tetapi langkah pemulihan yang lebih fundamental pada level individu. Jalan keluar ini dimulai dari pembenahan dari dalam, bukan sekadar perlawanan pasif terhadap sistem.
Langkah pertama dalam mengatasi jeratan pinjol adalah membangun fondasi mental dan tujuan yang kuat. Tekanan utang seringkali memicu keputusasaan dan burnout.
Penting untuk meluruskan niat, memahami bahwa kemandirian ekonomi keluarga bukan hanya tentang materi, tetapi juga tentang meraih kendali atas hidup, bebas dari rasa was-was, dan mampu memberikan yang terbaik bagi orang-orang tercinta. Tujuan mulia ini dapat menjadi bahan bakar yang kuat untuk bangkit.
Selain itu, menakar penghasilan ideal dengan menempatkan prioritas spiritual atau berbagi di awal, diikuti oleh biaya hidup layak, dana darurat, dan investasi masa depan, dapat membangun mentalitas berkelimpahan.
Meskipun terdengar kontraintuitif di tengah kesulitan, membiasakan diri untuk berbagi, bahkan dalam jumlah kecil, dapat menumbuhkan rasa syukur dan keyakinan bahwa rezeki akan terus mengalir.
Baca juga: OJK kenalkan istilah "Pindar" untuk bedakan pinjol ilegal
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.