Minggu (13/07/2025) menjadi momen bersejarah bagi Indonesia ketika Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, melakukan pertemuan bilateral dengan Presiden Dewan Eropa, António Costa, di Brussel, Belgia. Pertemuan tersebut membawa hubungan Indonesia dengan Uni Eropa semakin dekat lagi setelah bertahun-tahun melakukan perundingan.
Dilansir dari laman resmi Presiden, pada pertemuan tersebut Presiden didampingi oleh Kepala Negara hadir didampingi oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Perdagangan Budi Santoso, Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala BKPM Rosan Roeslani, Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya, serta Duta Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Belgia Andri Hadi. Pertemuan tersebut membawa kemajuan yang cukup besar bagi hubungan keduanya setelah 10 tahun. Terlebih lagi beberapa tahun terakhir keduanya sering terlibat dalam beberapa sengketa dagang seperti UU anti deforestasi dengan Sawit serta pembatasan ekspor nikel dan kebijakan hililirasi.
Kesepakatan tersebut membawa kedua pihak, terutama bagi Indonesia pada potensi ekonomi yang menguntungkan. Dilansir dari Kontan, salah satu poin penting dari kerja sama tersebut adalah liberalisasi pasar melalui penghapusan tarif masuk untuk sekitar 80% produk ekspor Indonesia ke pasar Eropa dalam 1–2 tahun setelah perjanjian resmi berlaku. Hal itu menjadi angin segar bagi pelaku ekonomi Indonesia, terutama di tengah penerapan tarif tinggi Trump terhadap komoditas impor dari Indonesia.
Liberalisasi akses pasar tersebut dapat menjadi stimulus bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Menurut data dari Badan Pusat Statistika (BPS), per Oktober 2024 Ekspor nonmigas terbesar Indonesia adalah ke Tiongkok yaitu US$5,66 miliar, disusul Amerika Serikat US$2,34 miliar, dan India US$2,02 miliar, dengan kontribusi ketiganya mencapai 43,49 persen. Sementara ekspor ke ASEAN dan Uni Eropa (27 negara) masing-masing sebesar US$4,32 miliar dan US$1,59 miliar.
Perbandingan tersebut menunjukkan nilai perdagangan Indonesia dengan Uni Eropa, terutama dari sisi ekspor masih relatif kecil jika dibandingkan dengan Tiongkok dan AS, bahkan dengan ASEAN. Adanya IEU-CEPA dapat membawa peningkatan ekspor Indonesia ke negara-negara anggota Uni Eropa.
Di sisi lain, ekspor Indonesia terhadap AS berpotensi menurun akibat tarif yang lebih tinggi yang diterapkan oleh Trump. Informasi terbaru menyebutkan tarif yang diterapkan mencapai 32%. Ditambah lagi, Trump juga mengancam memberikan tarif tambahan sebesar 10% bagi negara yang tergabung dalam BRICS. Indonesia sendiri telah resmi menjadi anggota BRICS sejak awal tahun 2025.
Secara historis sebagaimana yang dikutip dari laman resmi Uni Eropa, Indonesia merupakan mitra dagang terbesar ke-33 Uni Eropa, dan mitra dagang ASEAN terbesar ke-5 Uni Eropa pada tahun 2024. Sedangkan dari sisi Indonesia, Uni Eropa merupakan mitra dagang terbesar ke-5 yang menyumbang 6,4% dari total perdagangan negara. Perdagangan barang bilateral antara Uni Eropa dan Indonesia mencapai €27,3 miliar pada tahun 2024, dengan ekspor Uni Eropa senilai €9,7 miliar dan impor Uni Eropa senilai €17,5 miliar.
Berdasarkan nilai tersebut, perdagangan kedua pihak dapat menguntungkan keduanya. Namun, potensi tersebut harus dioptimalkan dengan meningkatkan daya saing Indonesia, agar komoditas Indonesia dapat diterima di pasar Uni Eropa. Sebaliknya, Indonesia perlu mendorong penguatan, khususnya bagi para pelaku UMKM agar mampu bersaing dengan berbagai produk dari Uni Eropa yang nantinya akan memasuki pasar Indonesia.
Dilansir dari laman Kementerian Perdagangan Indonesia, perjanjian tersebut mencakup Perdagangan Barang, rules of origin, Bea Cukai dan Fasilitasi Perdagangan, Pembangunan Berkelanjutan, HKI, hingga investasi. Dengan kata lain, perjanjian tersebut tidak hanya sekadar mampu meningkatkan surplus dalam neraca perdagangan Indonesia, namun juga dapat menarik lebih banyak Foreign Direct Investment (FDI) atau investasi langsung. Hal ini dapat menciptakan lapangan pekerjaan baru. Pada akhirnya, kerja sama tersebut dapat mendorong pertumbuhan ekonomi di dalam negeri.
Lantas, apa yang dapat dilakukan dalam meningkatkan daya saing?
Seorang ekonom populer, Michael E. Porter menawarkan strategi untuk meningkatkan daya saing suatu entitas bisnis. Setidaknya terdapat 3 strategi yang ditawarkan Porter, yaitu keunggulan biaya, diferensiasi, dan fokus.
Keunggulan biaya mengacu pada situasi Indonesia dapat memproduksi komoditas Indonesia dengan harga yang lebih rendah. Biasanya ini disebabkan karena faktor potensi yang ada dalam suatu negara. Pada aspek ini, pemerintah dan entitas bisnis perlu memetakan potensi sumber daya yang melimpah atau komoditas unggulan di Indonesia. Sebagian dapat didistribusikan untuk kebutuhan industri dalam negeri. Sebagian lain dapat diekspor.
Di sisi lain, strategi diferensiasi merujuk pada keunikan atau nilai tambah yang dimiliki suatu industri. Untuk komoditas tertentu, pemerintah dapat meningkatkan alokasi anggaran untuk riset dan pengembangan (R&D). Hal ini bertujuan untuk menciptakan komoditas yang dapat memiliki daya saing tinggi baik di...