
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump akan mengenakan tarif impor sebesar 30 persen untuk Meksiko dan Uni Eropa mulai 1 Agustus 2025. Para pihak tersebut gagal menghasilkan kesepakatan perdagangan yang komprehensif setelah berminggu-minggu negosiasi.
Mengutip Reuters, sebagai bentuk eskalasi dari perang dagang yang telah membuat marah sekutu-sekutu AS dan mengguncang para investor, Trump mengumumkan tarif terbaru itu dalam surat terpisah kepada Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen dan Presiden Meksiko Claudia Sheinbaum, yang diunggah di media sosialnya, Truth Social, pada Sabtu (12/7).
Uni Eropa dan Meksiko, yang keduanya termasuk mitra dagang terbesar AS, merespons dengan menyebut tarif tersebut sebagai kebijakan yang tidak adil dan mengganggu. Keduanya menyatakan akan tetap melanjutkan negosiasi dengan AS guna mencapai kesepakatan dagang sebelum tenggat waktu.
Presiden Meksiko Claudia Sheinbaum yakin bahwa kesepakatan tetap bisa dicapai. “Saya selalu bilang bahwa dalam situasi seperti ini, yang harus dilakukan adalah tetap berpikir jernih untuk menghadapi segala persoalan,” ujar Claudia dalam sebuah acara di negara bagian Sonora, Meksiko.
“Kami juga tahu hal-hal apa yang bisa kami negosiasikan dengan pemerintah Amerika Serikat, dan mana yang tidak bisa. Dan ada satu hal yang tidak bisa ditawar, kedaulatan negara kami,” tambahnya.
Trump juga mengirim surat serupa kepada 23 mitra dagang lainnya dalam pekan terakhir ini, termasuk Kanada, Jepang, dan Brasil, yang menetapkan tarif umum mulai dari 20 persen hingga 50 persen, termasuk tarif 50 persen untuk tembaga.
Trump menyatakan tarif 30 persen ini terpisah dari semua tarif sektoral, yang berarti bahwa tarif 50 persen atas impor baja dan aluminium, serta tarif 25 persen untuk impor mobil, akan tetap diberlakukan.
Tenggat waktu 1 Agustus ini memberikan kesempatan kepada negara-negara yang menjadi target untuk menegosiasikan kesepakatan yang bisa menurunkan ancaman tarif tersebut. Beberapa investor dan ekonom juga mencatat pola Trump yang kerap mundur dari ancaman tarifnya.
Rangkaian surat tersebut menunjukkan bahwa Trump kembali ke sikap perdagangan agresif seperti yang dilakukannya pada April lalu, ketika ia mengumumkan sejumlah tarif resiprokal kepada mitra dagang, yang sempat mengguncang pasar sebelum akhirnya ditunda oleh Gedung Putih.
Trump Dinilai Tidak Adil

Dengan pasar saham AS yang baru saja mencetak rekor tertinggi dan ekonomi AS yang masih menunjukkan ketahanan, Trump tidak menunjukkan tanda-tanda akan menghentikan perang dagangnya.
Ia sempat berjanji menggunakan penundaan 90 hari pada April untuk menjalin puluhan kesepakatan perdagangan baru, akan tetapi sejauh ini hanya berhasil mencapai kesepakatan kerangka kerja dengan Inggris, China, dan Vietnam.
Uni Eropa sempat berharap bisa menjalin perjanjian dagang komprehensif dengan AS untuk 27 negara anggotanya. Dalam suratnya ke Uni Eropa, Trump menuntut agar Eropa menghapus semua tarif terhadap AS. “Uni Eropa harus membuka akses pasar sepenuhnya kepada Amerika Serikat, tanpa tarif, sebagai upaya untuk mengurangi defisit perdagangan yang besar,” tulisnya.
Ursula von der Leyen menyebut bahwa tarif 30 persen tersebut akan mengganggu rantai pasok transatlantik yang krusial, merugikan bisnis, konsumen, dan pasien di kedua sisi Atlantik.
Ursula juga mengatakan meski Uni Eropa akan tetap berupaya mencapai kesepakatan dagang, mereka juga akan mengambil semua langkah yang diperlukan untuk melindungi kepentingan Uni Eropa, termasuk menerapkan tindakan balasan yang proporsional bila dibutuhkan.
Uni Eropa semula menargetkan perjanjian dagang menyeluruh dengan AS, tetapi kini beralih ke kesepakatan kerangka kerja yang lebih luas seperti Inggris, dengan rincian yang masih dinegosiasikan. Di tengah tekanan internal, Jerman mendorong kesepakatan cepat untuk melindungi industrinya, sementara Prancis menegaskan agar UE tidak tunduk pada kesepakatan sepihak yang menguntungkan AS.
Bernd Lange, Ketua Komite Perdagangan di Parlemen Eropa, mengatakan bahwa Brussels harus segera menerapkan tindakan balasan mulai Senin (14/7).
“Ini tamparan bagi proses negosiasi. Ini bukan cara memperlakukan mitra dagang utama,” kata Bernd kepada Reuters.