KOMISI Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM mendesak pemerintah menjamin perlindungan data pribadi WNI dalam perjanjian dagang Indonesia dan Amerika Serikat. Kekhawatiran data pribadi WNI bocor setelah adanya klausul perjanjian perdagangan timbal balik (reciprocal trade agreement) antara Indonesia dengan Amerika Serikat yang menyebutkan kewajiban Indonesia mentransfer data pribadi WNI ke Amerika Serikat.
Ketua Komnas HAM Anis Hidayah mengatakan, hak atas perlindungan data pribadi merupakan bagian dari hak asasi manusia yang menjadi tanggung jawab pemerintah untuk menghormatinya. Komnas HAM menyebutkan, perlindungan data pribadi sudah diatur dalam konstitusi, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Konvenan Hak-Hak Sipil Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 serta Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
“Komnas HAM menegaskan pentingnya pemerintah untuk memiliki kedaulatan atas data digital, termasuk menjamin perlindungan data pribadi WNI sebagai hak asasi manusia,” kata Anis dalam keterangan tertulisnya, Jumat, 22 Agustus 2025. Dia mengingatkan potensi bahaya jika data digital warga negara mengalami kebocoran dan disalahgunakan.
Amerika Serikat dan Indonesia menyepakati kerangka Perjanjian Dagang Resiprokal yang mencakup penghapusan hambatan perdagangan digital. Dalam pernyataan resmi di situs whitehouse.gov yang dirilis 23 Juli 2025, Gedung Putih menyatakan Indonesia akan menjamin transfer data pribadi ke luar negeri, termasuk ke Amerika dan mengakui perlindungan data di Amerika memadai. Klausul ini menuai sorotan dan kritik karena menyangkut perlindungan data pribadi warga Indonesia. Apalagi, Amerika hingga kini belum memiliki regulasi pelindungan data yang komprehensif di tingkat federal.
Direktur Imparsial Ardi Manto Adiputra mengatakan, data pribadi warga negara tidak boleh dijadikan objek kesepakatan perdagangan atau ekonomi antar negara. “Kedaulatan data pribadi adalah bagian dari kedaulatan negara. Presiden Prabowo berpotensi menyerahkannya kepada pihak asing,” kata Ardi dalam siaran pers Kamis, 24 Juli 2025.
Adapun Asosiasi Pengusaha Teknologi, Informasi dan Komunikasi Nasional (APTIKNAS) mengingatkan pemindahan data pribadi dari Indonesia ke Amerika yang tercantum dalam kesepakatan perdagangan kedua negara harus tunduk kepada Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (PDP) Indonesia.
"Jika pemerintah Indonesia benar-benar mengizinkan data masyarakat dikelola atau disimpan di Amerika maka harus ada syarat minimum yakni perusahaan AS harus tunduk pada Undang-Undang PDP Indonesia dan audit dari Komisi PDP," kata Ketua Komite Tetap Kewaspadaan Keamanan Siber APTIKNAS, Alfons Tanujaya.
Selain itu, Alfons melanjutkan, data yang ditransfer harus dienkripsi dan tidak boleh diakses tanpa persetujuan eksplisit. Kedua negara juga perlu membuat perjanjian bilateral untuk mencegah penyalahgunaan oleh otoritas asing. Keamanan data, kata Alfons, tidak ditentukan oleh lokasi penyimpanannya, tapi oleh kedisiplinan dan metode untuk menyimpan data tersebut.
Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid mengatakan, mekanisme transfer data ke luar negeri sudah diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang PDP dan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Kedua regulasi ini, kata Meutya, menjamin tata kelola data yang aman dan andal tanpa mengorbankan hak-hak warga negara.
Meutya mengatakan praktik transfer data pribadi lintas negara merupakan hal yang lazim terjadi. Ia mencontohkan, negara-negara yang tergabung dalam G7 seperti Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Jerman, Perancis, Italia, dan Britania Raya telah lama mengadopsi mekanisme ini secara aman dan andal. “Pengaliran data antarnegara tetap dilakukan di bawah pengawasan ketat otoritas Indonesia, dengan prinsip kehati-hatian dan berdasarkan hukum nasional,” kata Meutya.