
Hi!Pontianak – Yayasan dan SD Filipi Sekadau menegaskan tidak ada unsur diskriminasi dalam keputusan mereka untuk tidak menerima anak berkebutuhan khusus (ABK) pada tahun ajaran 2025/2026. Keputusan tersebut diambil berdasarkan berbagai pertimbangan internal, termasuk keterbatasan sumber daya, tenaga pengajar, dan fasilitas khusus.
Diketahui sebelumnya, salah satu orang tua calon siswa menyebut adanya dugaan diskriminasi yang dialami anaknya saat mendaftar di sekolah tersebut.
Menanggapi hal itu, Ketua Yayasan Filipi, Bayu Dwi Harsono, mengatakan keputusan tidak menerima peserta didik baru ABK telah dibahas dalam rapat pengurus pada 1 Juni 2024 dan ditegaskan kembali pada 17 Februari 2025. Keputusan ini diambil dengan berbagai pertimbangan dan masukan dari dewan guru.
"Kami tidak ada maksud sedikit pun melakukan diskriminasi terhadap calon siswa. Ini murni karena keterbatasan kami sebagai sekolah yang baru berdiri sejak 2023. Dari 26 siswa di kelas 1 dan 2, sudah ada 3 anak berkebutuhan khusus. Dari pengalaman ini, kami ibarat bayi yang baru lahir tapi memikul beban berat," kata Bayu, Rabu malam, 18 Juni 2025.
Menurutnya, para guru telah menyampaikan kesulitan dalam menangani ABK, terutama karena belum adanya guru pendamping khusus dan kurikulum khusus.
"Kami juga mendapat rekomendasi pada 8 Februari 2025 dari psikolog terhadap anak dari Khelvin Chandra yang menyebut jika sang anak membutuhkan kurikulum dan metode pembelajaran khusus, dan itu belum kami miliki," ucap Bayu.
Pembina Yayasan Filipi, Pdt. Obernalius, menyambut baik adanya panggilan dari DPRD Sekadau untuk mendengarkan keterangan dari semua pihak. Ia menegaskan kembali bahwa keputusan tidak menerima ABK bukan karena niat diskriminasi, melainkan murni karena belum adanya kesiapan dari segi sistem, tenaga pendidik, dan fasilitas.
"Kami sangat berharap ke depan, jika ada dukungan dari berbagai pihak, sekolah kami bisa membuka layanan bagi ABK. Kami menyadari kebutuhan tersebut sangat penting, apalagi beberapa anak TK dalam naungan kami juga termasuk ABK. Namun, untuk jenjang SD saat ini, kami masih sangat terbatas," jelasnya.
Di tempat yang sama, Kepala Sekolah SD Kristen Filipi, Jelin, menambahkan pengalaman mengajar ABK di kelas 1 dan 2 menjadi pembelajaran penting bagi pihak sekolah.
"Guru-guru kami mengalami kesulitan karena belum memiliki pelatihan dan kemampuan menangani ABK secara optimal. Anak-anak ABK seharusnya mendapat kurikulum khusus, penilaian khusus, dan bahkan pendampingan psikologis. Kami belum mampu memenuhi itu," tuturnya.
Ia menyebutkan, pihak sekolah telah melakukan 4 kali pertemuan dengan orang tua anak yang bersangkutan. Pada 19 Maret 2025, memanggil orang tua untuk menyampaikan alasan pihak sekolah untuk todak menerima anak tersebut. Hal tersebut sesuai dengan keputusan yayasan bersama dewan guru.
"Alasan kami, pertama guru tidak mampu mengajar ABK. Kedua, berdasarkan masukan dari psikolog. Dengan berbagai keterbatasan, kami berharap orang tua dapat memahami keputusan ini," pungkasnya.