Liputan6.com, Jakarta Pabrik farmasi asal Jerman di Cimanggis, Depok, telah memasang panel surya seluas 1,66 hektar. Teknologi ini diklaim mampu mengurangi emisi karbon lebih dari 2.000 ton per tahun.
Panel surya adalah sebuah teknologi yang digunakan untuk mengubah energi matahari menjadi energi listrik. Cara ini disebut dapat mengurangi emisi karbon dioksida dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh bahan bakar fosil.
Manufacturing Business Unit A, Bayer Indonesia, Adrin Ramdana Rauf menyebut, penggunaan atap berbasis panel surya di pabrik Bayer Indonesia, berhasil mengurangi emisi karbon dioksida lebih dari dua ribu ton per tahun.
Lebih lanjut, ia mengatakan, penggunaan panel surya sebagai substitusi sumber listrik konvensional telah berhasil mengefiensi biaya operasional sebesar 420 juta per tahun.
“Hal ini untuk mendukung capaian dari sustainability development nomor 13. Utamanya terkait dengan penanganan perubahan iklim,” ujar Adrin, di acara Media Class 2025, bertajuk "The Science Behind" Center of Excellence, Rabu (20/8/2025).
Langkah Kurangi Emisi Karbon di Tahun 2030
Adrin menyebut, saat ini Bayer Indonesia telah menggunakan atap berbasis panel surya seluas 1,66 hektar dari total lahan 10 hektar. Penggunaan atap panel surya ini telah menggantikan sebanyak 43 persen dari total listrik yang butuhkan oleh pabrik.
Menurut Adrin, langkah yang diambil oleh Bayer Indonesia ini sejalan dengan target pengurangan emisi karbon global, yang tercantum dalam perjanjian Paris, yaitu pembatasan kenaikan suhu maksimal sebesar 1,5 derajat celcius setelah 2030.
Ia menyebut, inisiatif ini sebagai sebuah komitmen dari Bayer untuk mendukung kebijakan pengurangan emisi karbon.
“Ini pun bisa membantu inisiatif nasional pemerintah yang ingin juga mengurangi emisi CO2 (karbon dioksida) sebesar 30 persen per tahun 2030,” sebut Adrin.
Komitmen Tangani Krisis Iklim Global
Selain itu, Adrin menyebut, tidak ada aturan dari pemerintah yang memaksa industri untuk menggunakan energi terbarukan. Tetapi, ini merupakan wujud komitmen dari Bayer untuk menjawab krisis iklim global.
“Dalam Paris Agreement, di mana 195 negara terlibat dalam berkomitmen dan Bayer di sini sebagai salah satu perusahaan yang juga berada di banyak negara, kami berkomitmen untuk bisa mencapai hal tersebut,” jelasnya.
Lebih lanjut ia kemukakan, komitmen ini menjadi penting, sejalan dengan misi Bayer, yaitu “Health for all, hunger for none”.
“Perbedaannya mungkin hanya setengah derajat, tapi berdasarkan penelitian itu bisa berbeda hingga 10 cm kenaikan permukaan air laut,” ujar Adrin.
Berdampak Bagi Kesehatan dan Pertanian
Adrin kembali menekankan misi yang dibawa oleh Bayer, health for all. Menurutnya, jika suhu bumi dan permukaan air laut menaik, ini akan berdampak pada kesehatan.
“Health for all adalah misi kami. Jadi kalau ada dampak kesehatan bagi penduduk di bumi tentunya itu yang akan menjadi berbahaya,” sebutnya.
Adrin juga menyebut, kenaikan suhu secara global juga bisa memengaruhi pertanian. Pertanian menjadi kacau, sehingga ketahanan pangan bisa berpotensi terganggu. Hal ini ia sebut tidak sejalan dengan misi hunger for none yang dibawa Bayer.
“Jadi kami melihat ini menjadi tidak semata-mata sebagai sebuah inisiatif yang tanpa tujuan, tapi ini menggambarkan bagaimana misi kami dibayar seharusnya,” tutupnya.